Thursday, June 30, 2011

Catatan perjalanan 30/06/11


Saya ingin berubah.
Saya mengubah.
Perubahan.
Kata orang hal ini positif, mari kita coba…
Ada satu perkataan bagus yang saya ingat seputar “perubahan” ini,
......that the only certain thing in life is: CHANGE!

Mengapa hal ini sangat menyayat buat saya? Ada sedikit nada ironi didalamnya (atau hanya saya saja yang merasakan?), anda menangkapnya? kurang lebih dalam bahasa yang lebih user-friendly, artinya adalah: satu-satunya hal yang pasti dalam hidup ini adalah perubahan...

Anda menangkapnya?
Ironi, saat apa yang seharusnya menjadi kepastian dalam hidup kita, pegangan, assurance dan garansi, sesuatu hal yang bisa kita pegang dan tahu kalo hal itu pasti adalah hal yang justru bersifat dinamis. Ya, dinamis. Apa sih yang lebih dinamis dari perubahan? Kita lahir, kita tumbuh, berkembang...bukankah itu adalah perubahan? Jadi kita PASTI berubah, entah kita mau atau tidak, suka atau tak suka, siap dan tidak siap..
Jadi (lagi) bolehkah saya menyimpulkan bahwa kita pasti berubah? Saya ingin berubah... jadi satu lagi hal menggelitik pikiran saya, apakah perubahan itu datang kepada kita, atau kita yang membuatnya? Kalo untuk hal yang satu ini, saya tidak punya argumen. Tapi, kembali ke pernyataan saya tadi, saya (punya niat) untuk berubah.

Mungkin perubahan ini tidak ekstrim buat orang lain, tapi ini (cukup) ekstrim buat saya. Apa  sih yang saya ubah? Tidak banyak. Hanya cara saya memilih cara berpindah tempat, namun ini mengubah gaya hidup saya. Jadi, saya mulai mengubah gaya hidup.

Tidak mudah.
Saya tahu. Hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan, saat kita ganti dengan kebiasaan yang lain, pasti menjadi dua kali lebih sulit. Mengapa? Gampang, karena belum biasa. Saya tidak lagi “menyetir”kan diri saya lagi kemana-mana (baca: ke kantor). Saya memilih untuk meramaikan angkutan umum, alias mbemo (maaf, buat orang awam, artinya naek angkot yaa?). Sebernarnya ini adalah ‘bold move’ buat saya. Kenapa? Karena jarak rumah-kantor yang sebenarnya tidak seberapa dekat, malah bisa dibilang jauh (kalo gak mau dibilang jauh banget..... definisi jauh kan beda buat orang lain). Eniwei,  jalur saya berangkat dan pulang membutuhkan 3 kali oper kendaraan. Sebenarnya cukup gampang, jalan yang dilewati juga lurus aja. Sudah kurang lebih 2 minggu saya jalani perubahan ini saya lakukan. Tidak lebih cepat saya ceritakan, namun saya mulai menemui dan merasakan betapa berbedanya kedua pengalaman perjalanan saya ini, yang tadinya mengendarai kendaraan sendiri dan menaiki kendaraan umum...

Banyak sebenarnya hal yang saya temui dalam perjalanan menuju kantor, namun saat mengendarai mobil sendiri serasa saya berada dalam gelembung... gelembung dunia kaca saya. I’m seeing the world on the outside from the inside of my world! Halaaaah..... J
Tapi benar memang, saat mengendarai sendiri, saya merasa dalam dunia saya dan saya melihat orang-orang yang diluar sana, dengan kesibukannya sendiri pula. Saya merasa nyaman. Ya, karena saya juga sibuk dengan kesibukan saya sendiri, ganti persneling, rem, gas, ganti persneling, gas lagi, rem lagi, horn, sambil nyumbat kuping dan larut dengan pikiran saya sendiri... bahkan kadang tak menggubris dunia luar, saya menjadi ignorance.

Karena keadaan.
Saya hanya melihat dan mengobservasi dunia diluar ‘gelembung’ saya itu tadi. Banyak. Banyak yang saya temui dan lewati. Tapi tidak terjamah oleh saya. Saya bisa melihat kendaraan lainnya, yang dengan pengemudi-pengemudi yang sama dengan saya, melihat dunia diluar sana, saya melihat anak-anak jalanan yang menjajakan koran, mengamen dan menyambung hidup. Ada lagi pak polisi yang bersusah payah dengan panasnya terik matahari, baku hantam dengan para pengguna jalan raya. Angkot-angkot yang main salip-salipan, serta motor-motor yang melalat.... keras, panas….tapi saya aman, nyaman. Saya ada di dalam ‘gelembung’ saya tadi.
Sudut pandang ini berubah saat saya yang berada diluar sana. Ya. Kata ajaibnya, berubah. Itulah yang terjadi. Mengapa terjadi?
Karena saya mau, saya mengubahnya. Maka terjadilah perubahan itu.

Ini bukan kali pertama saya mengalami masa-masa menaiki kendaraan umum. Sebelumnya juga saya sudah pernah. Pada saat itu, biasa saja. Namun sebelumnya, mata saya tidak peka dan terbuka terhadap hal-hal yang terjadi disekitar saya. Dan hal-hal yang saya temui di jalan, hanya menjadi bahan obrolan kasual antar saya  dan teman, tak tercatat, tak terlihat lagi setelahnya. Entah mengapa, baru sekarang hal-hal kecil yang terjadi semakin menggelitik saya. Seorang senior sekantor yang terlebih dahulu menuliskan pengalaman perjalanannya, diantaranya, mungkin sedikit banyak telah menginspirasi saya. Mungkin juga state of mind saya yang menjadi semakin dewasa? Saya tidak mau jumping conclusion, all things possible. Dan saya percaya domino effect. Tidak hanya 1 atau 2 hal yang menyebabkan suatu hal terjadi, tapi banyak hal dan mungkin efeknya tidak sekaligus bersamaan. Namun mereka saling bersinggungan.

Jadi, sekarang saya naik kendaraan umum. Gelembungnya saya kempiskan, saya lipat dengan rapi di rumah. Perjalanan saya tempuh dengan jalan dari rumah menuju depan komplek, bemo gak sampai depan rumah saya sih! *emang ada bemo berhenti depan rumah yaa?* :P
Karena jam masuk kantor yang fleksibel (baca: siang) saya bisa agak santai dari rumah. Maklum, seperti saya bilang tadi jarak rumah-kantor yang lumayan tidak dekat. Jadi saya ancang-ancang kurang lebih 1-1,5 jam prior jam masuk kantor. Kali pertama, kali kedua dan seterusnya, saya makin terbiasa dan enjoy melakukan rutinitas baru saya. Ada berbagai mixed emotions menyenangkan yang tertuang dalam perjalanan itu. Berdebar-debar dan was-was, menanti kedatangan angkot yang memang tidak seragam tiap harinya, harap-harap cemas pula kala menunggu di pinggir jalan *safety reason*.
Makin capek saat harus kejar-kejaran hingga dapat angkot. Namun, cerita aslinya saya temui didalam angkot. Banyak sekali berbagai macam orang dan jenisnya di dunia ini, yang kebetulan ngumpul dalam angkot yang juga saya tumpangi.
Saya ini tipikal observer mungkin ya? Terutama diantara orang-oarang yang tidak saya kenal. Inilah hasil pengamatan/catatan perjalanan saya hari ini.....

Pada saat berangkat, karena saya tahu sudah agak siang, saya memilih tidak menunggu angkot nomor 1 yang membawa saya dari depan komplek menuju angkot nomor 2. Saya naik becak motor yang kebetulan sudah mangkal didepan komplek. Ada rasa senang yang hampir kekanak-kanakan mungkin saat saya menaiki becak modern ini. Biasanya saya hanya menaikinya saat pulang saja, malam hari, diiringi hembusan angin malam dengan kencang-kencangnya. Namun saat menaikinya siang hari tentunya sangat berbeda. Becak saya melaju dengan kecepatan cepat (dari ukuran becak onthel, lambat kalo beradu dengan mobil) dan saya menikmati terpaan angin (dan debu) yang menghampiri arah wajah saya. Tak banyak hal terjadi, saya satu-satunya penumpang didalmnya, saya tidak berbgi. Saya kenal bapak becak yang mengantarkan saya, dia langganan mangkal depan komplek. Bapak becak baik sekali, dia menanyakan tujuan saya, dan dengan sigap langsung  mencarikan saya angkot nomor 2 segera setelah saya turun becaknya. Alhamdulillah, pikir saya.

Tanpa pikir lama, saya langsung menaiki angkot nomor 2. saya penumpang nomor 7. saya duduk di bangku pendek, besebelahan seorang pria (yang memunggungi saya) dan seorang wanita muda (mahasiswa, kenapa saya tau? Karena turunnya di dekat sebuah universitas... ). Pemandangan di depan saya adalah seorang ibu muda, sedang menggendong anak laki-lakinya, kurang lebih berusia sekitar 6 bulan. Dia sedang tidur. Anak itu. Dan hal pertama yang melintasi benak saya adalah, betapa damainya tidurnya. Larut dan terlelap dalam tidurnya. Makhluk mungil yang belum ternoda itu. Tak pusing dia berpikir kelamnya dunia, susahnya hidup. Belum. Belum saatnya. Jalannya masih panjang. Sesekali si ibu mengusap-usap kening putranya yang berpeluh sambil meniupinya supaya agak dingin. Saya cukup yakin. Dalam tiupan si ibu tadi pasti ada doa-doa terucap. Mengapa saya yakin? Saya tidak tahu. Saya hanya berasumsi.

Lalu saya berpikir lagi masa kanak-kanak saya. Pikiran saya terbang. Pernahkan hal itu terjadi pada saya? Diajak jalan-jalan oleh ibu naik angkot? Senang. Dan pilu. Pilu karena saya mempertanyakan keberadaan si bapak dari anak itu. Kemana dia? Gak bisa apa mengantarkan istri dan anaknya? Membiarkan mereka panas-panasan naik kendaraan umum???? Teruss... ada sentilan dari suara hati saya yang semula diam, “kamu tau apa?? Main hakim aja... mana kamu tau kalau si bapak mungkin sedang banting tulang cari nafkah pada saat itu juga...” saya kembali menghilangkan pikiran itu. Kaki menapak dunia nyata.
Biasanya saya mencoba ignorance. Loe-loe, gue-gue!!!, kalo bahasa agak kerennya! Tapi kali ini saya tidak menyumbat kuping, saya tidak melakukan aktivitas autis saya biasanya dan asik menjadi pengamat jalanan saja.
Sudah separuh lebih perjalanan saya kala itu pikiran saya kembali menjejak dunia nyata. Ada seorang penumpang turun, naik lagi satu rombongan, ada sepasang muda mudi dan sepasang wanita membawa 2 anak kecil. Lengkap sudah angkot saya. Full house. Jalanan makin panas, saya makin tidak sabar karena satu lirikan ke arah jam tangan, saya tahu saya pasti telat sampai. Mendekati tujuan saya, sang sopir masih saja sempat mengangkut 2 orang lagi. Sepasang suami istri (kalo saya tidak benar), si bapak sudah ingin naik, ibunya agak ragu karena melihat sudah full. Perbincangan terjadi dipinggir jalan antara naik atau tidak naik. Ada seorang ibu penumpang yang sudah ada sebelum saya ikut ngomel, intinya ibu tersebut mengutarakan pendapatnya, kalo memang tidak mau ikut yasudah dan penumpang kursi depan (ternyata teman si supir) diminta turun.
Singkat cerita, mereka masuk dan angkot saya jadi super duper sempitnya......*agak alay*
Tidak beberapa lama, saya sampai tujuan saya. Ternyata si ibu dan anak yang tadi juga turun bersama saya. Sampai sana persinggungan kami.

Saya lirik jam tangan saya. Damn! Pikir saya, yup... telat sudah pasti. Dilema, memberi kabar si bos? Saya putuskan nanti saja, mungkin masih terkejar (waktunya dan angkotnya). Ternyata sampai pangkalan angkot nomor 3, masih kosong dan hanya saya yang baru masuk, duduk manis. Oke, saya telat. Sebenarnya saya tahu kondisi dan tabiat ini angkot, pasti full house dulu, baru jalan. Dan (nantinya) saya menyesali juga mengapa saya tidak melakukan yang hal yang terpikir saat itu: mengabari si bos!
Kompress cerita, satu per satu orang-orang dengan karakter berbeda-beda mulai memadati angkot saya. Yang datang cepat, bisa memilih tempat, yang agak nanti, yaaa...terima saja mana lahan yang kosong! J
Saya sebenarnya suka duduk di bangku panjang, pas dibelakang si sopir, mudah akses keluarnya, dan mudah memberitahu si sopir dimana saya ingin diturunkan, selain itu jangkauan pandangan juga lebar, baik ke arah dalam maupun luar. Sembari menunggu angkot saya penuh, silih berganti berdatangan para pengamen. Bilang saja pengamen 1, seorang gadis cilik dengan kencrengan tutup botol buatannya sendiri, datang, bersandar di depan pintu sambil menyanyikan lagu, yang saya yakin, pasti ciptaannya sendiri. Kenapa saya tahu? Walau tidak mengerti lagu-lagu hits tanah air, saya cukup yakin lagu itu ciptaannya sendiri, atau mungkin orang lain ciptakan untuknya. Kata-kata pada liriknya cukup menyayat hati. Antara dia memberitahukan kami (penumpang angkot itu) bahwa kami lebih beruntung dari dia dan betapa dia ingin kehidupan kami....semacam itu. Lirik aslinya saya tangkap, namun untuk alasan hak cipta, tidak saya publikasikan disini.
Lalu saya pikir, ya, saya lebih beruntung dari dia. Saya bekerja saat saya sudah seharusnya bekerja. Tidak dengan dia. Masih belia seperti itu, namun harus “bekerja”. Alhamdulillah, ucap saya dalam hati. Namu saya juga berpikir, sebaiknya jangan dia punya kehidupan saya, seperti saya, dengan 1001 problematika yang saya hadapi. Saya rasa disinilah hukum: “rumput tetangga selalu lebih hijau...”

Hampir penuh angkot yang saya tumpangi. Datang seorang ibu tua, renta. Membawa 2 tas, 1 besar, 1 lagi tas tentengan kecil. Dengan tangan bergetar-getar si ibu berjuang dengan susah payah menaiki mobil angkot, yang buat saya tidaklah terlalu tinggi itu. Namun ibu itu kesusahan. Dia naikkan dulu barang –barangnya, saya bantu, karena posisi saya pas di depan pintu. Dengan ringkih si ibu berhasil naik dan duduk di kursi tambahan pinggir pintu. Aduh! Pikir saya, bahaya, si ibu udah renta, angkotnya pasti bergoyang. Untung si kernet angkot tanggap dan menyuruh ibu tersebut masuk ke lahan kosong didalam angkot. Kami berangkatlah. Si ibu melengkapi kloter keberangkatan kami.

Berjalan beberapa lama, seorang bapak yang juga tua yang sebelumnya naik angkot saya juga, membuka percakapan dalam angkot itu, menegur si ibu renta yang tadi. Ini cuplikan percakapan mereka yang saya ikut dengarkan:

Bapak: “ibu, rematik ya?” (sambil menunjuk kaki si ibu)
Ibu: “ enggak. Mata saya ini lho... kabur, habis operasi.”
Bapak: “oooh..... usia berapa bu?”
Ibu: “75.”

Sampai situ yang saya dengar dengan jelas. Lainnya hanya sekelibat saja karena saya sudah larut dalam pemikiran saya sendiri. Tega sekali sih anak, cucu atau keluarga ibu itu! Setua, serenta itu dibiarkan naik kendaraan sendiri..... koq tega yah keluarganya? Koq gak dieman-eman itu ibu.... tega. *eman=sayang*
Naik angkot, di kota besar itu (agak) menyeramkan lho! Bahkan buat saya. Apalagi buat ibu itu... kalo ada apa-apa (bukan mendoakan, hanya was-was) gimana???
Saya tidak ada argumen untuk ini. Saya hanya menyayangkan keadaan.
Tidak ada hal menarik lainnya yang terjadi hingga saya diantarkan sampai tujuan saya. Saya turun, saya bayar. Saya lanjutkan menyeberang jalan, langkah tak pasti menuju kantor. Apa yang akan saya temui hari ini? Entahlah. Saya tidak tahu. Saya tidak mau tahu. Apa asiknya hidup kalau kita tahu apa yang akan terjadi nantinya? Tidak perlu kita tahu, hanya jalani saja. Itu cukup.

Mengapa saya besusah payah menuangkan segala hal yang saya temui ini? Karena seperti kata seseorang senior yang sangat saya kagumi, banyak kejadian-kejadian menarik yang terjadi sepanjang jalan menuju kantor-rumah dan sebaliknya. Dan kejadian-kejadian ini hanyalah akan menjadi memori saya, nantinya. Sebaiknya saya tuangkan saja, supaya saya bisa kembali pada masa itu dan tidak melupakan apa yang saya temukan dalam perjalanan saya.

Berbeda, karena tak lagi sama. Mengapa? Karena perubahan itu terjadi. Perubaahan mendatangkan sesuatu yang beda. Saya mengubah sudut pandang saya. Kini saya bisa melihat dunia dibalik gelembung saya. Ya. Saya menjadi bagian darinya. Saya tak lagi eksklusif. Sekarang saya diantara mereka, kalian. Saya tidak lagi aman dalam gelembung saya, saya lipat sudah. Saya beralih menjadi wajah-wajah asing dan jauh yang dulunya hanya saya pandangi dari balik kaca gelembung saya.
Berubah. Perubahan itu sehat….  Perubahan itu saya buat. Buat saya. Saya mengubah, berubahlah saya.

Jangan takut perubahan. Satu lagu tentang perubahan itu, yang sangat saya suka adalah Change by Sugababes. Tau? Cari tau yaa?? J

No comments:

Post a Comment